January 12, 2017

Tafsir Sejarah Dyah Lembu Tal Sebagai Ayah Raden Wijaya Pendiri Kerajaan Majapahit [6]

 



Jika ada pendapat yang mengatakan Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka menganut agama Boddha, tentulah Prapanca dalam pupuh ini akan menulis tempat pendarmaan dalam perwujudan candi Boddha. Kenyataannya tidak.

Dan berita wafatnya Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka berikut candi pendarmaannya hanya tertulis dalam pupuh 41/4, tidak termuat dalam pupuh lain. Ini berlaku pula bagi para tokoh seperti Ranggah Rajasa, Anusapati, Wisnuwardhana, dan nanti berlaku pula terhadap tokoh seperti Kertanegara dan Dyah Lembu Tal.

Paparan ini sekaligus untuk menyanggah teori atau penafsiran sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa candi pendarmaan di Miren yang berciri Boddha merupakan tempat pendarmaan Sri Narasingamurti. Candi Boddha di Miren sebagaimana nanti termuat dalam kakawin Decawarnanna pupuh 46/2 bukanlah candi pendarmaan Sang Narasingamurti. Sekali lagi berita wafatnya dan tempat pendarmaan Sri Narasingamurti hanya termuat dalam pupuh 41/4.

Bahwa Prapanca sangat kronologis ketika memberitakan wafatnya para tokoh keluarga Girindra Tumapel. Seorang tokoh hanya diberitakan tahun wafat dan sekaligus tempat pendarmaannya hanya dalam satu pupuh atau hanya sekali, tidak pernah diulang penulisannya atau pemberitaannya dalam pupuh lain.

Keterangan ini nanti untuk membuktikan atau mengidentifikasi siapa yang didarmakan di candi Miren sebagai Boddha.

Wafatnya maharaja Tumapel Singasari terakhir, Sri Kertanegara, dalam kakawin Decawarnanna pupuh 43/5-6

Pupuh 43/5: ring sakabdi jakaryyama narpati mantuk ring jinaindralaya. Sankai wruhanira ring kriyantara lawan sarwwopadesadika sang mokteng siwabuddaloka talahan sri natha ling sing sarat rinke sthananiran dinarmma siwabuddarca halp nottama.

Terjemahannya: Tahun saka 1214/1292M, sang narpati Kertanegara berpulang ke Jinaindralaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara dan ajaran agama, beliau mendapat gelar Sang Mokta ing Siwabuddhaloka atau yang wafat ke alam Siwa-Buddha. Di makam pendarmaan beliau bertegak arca Siwa-Budha yang sangat megah.

Pupuh 43/6: Lawan ring sagala pratista jinawimbhatyanta ring sobhita tkwan narddanareswari mwan ika sang sri bajradewy apupul sang rowang nira wrddi ring bhuwana tunggal ring kriya mwang brata. Hyang werocana locana lwiriran ekarcca prakaca ing praja.

Terjemahannya: Di sagala ditegakkan pula arca Jinabudda sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan Negara. Eka arca yang terkenal sepenjuru negeri itu bernama Hyang Werocana Locana.

Dalam pupuh 43/5, Sri Kertanegara diberitakan wafat berpulang ke alam Jina dan Indra pada tahun 1292M. Pupuh ini mengabarkan pula bahwa Kertanegara penganut dua agama yaitu Siwa dan Boddha. Maka tak heran jika maharaja Singasari terakhir ini dikenal sebagai Sang Mokta ing Siwabuddhaloka artinya yang wafat di alam siwa dan Buddha. Pendarmaan Kertanegara juga masih termuat dalam pupuh 43/6, yaitu didharmakan bersatu dengan sang permaisuri di Sagala dalam perwujudan arca Jinabuddha.

Wafatnya Dyah Lembu Tal dalam kakawin Decawarnanna dalam pupuh 46/2

Pupuh 46/2: ndan rakwaking atmwamintiga siran wwang sanak arddapar apan rakwa bhatara wisnu mamisan parnnahniran tan madoh lawan sri narasinghamurti wka ri dyah lembu tal. susrama sang wireng laga, sang dinarmma ri miren boddapratistapagoh.

Terjemahannya: Perkawinan beliau [raden Wijaya] dalam hubungan keluarga termasuk derajat tiga sebab Bhatara Wisnu merupakan saudara sepupu dengan Sri Narasingamurti yang menurunkan seorang putra bernama dyah Lembu Tal. [dyah Lembu Tal] sohor sebagai Sang Perwira Yudha yang didharmakan di Miren dengan perwujudan arca Boddha.

Dalam pupuh 46/2 tokoh yang didarmakan di Miren sebagai Boddha adalah Dyah Lembu Tal, bukannya Sri Narasingamurti. Ayah dyah lembu Tal atau Sri Narasingamurti sudah termuat beritanya dalam pupuh 41/4. Karena Prapanca termasuk penulis yang kronologis, maka tentu saja tidak mengulang berita wafatnya Sri Narasingamurti dalam pupuh lain. Jika Sri Narasingamurti didarmakan juga sebagai Boddha, maka berita itu harus ditempatkan pada pupuh setelah 41/4. Kenyataannya tidak.

Kaliman susrama sang wireng laga sang dinarmma ri miren boddapratistapagoh pada pupuh 46/2 lebih menunjuk khusus kepada dyah Lembu Tal. Naskah Decawarnanna berupa kakawin yang sangat terikat ketat aturan bahasa dan guru laghu. Untuk menafsirkannya tentu saja tidak sekadar membaca apa yang tertulis atau yang tersurat melainkan juga mampu menemukan kata kata yang tersirat atau yang tidak ditampilkan akibat kendala aturan dalam penulisan kakawin.

Jika tokoh yang didarmakan di candi Miren sebagai Boddha menunjuk pada Sri Narasingamurti, mengapa Prapanca tidak menuliskannya pada pupuh yang membicarakan wafat dan tempat pendarmaan Wisnuwardhana dan Sri Narasingamurti pada pupuh 42/4?

Jika tokoh yang didarmakan di candi Miren menunjuk pada Sri Narasingamurti, maka ini akan bertentangan atau melenceng dari watak Prapanca yang merupakan wartawan kronologis sebagaimana telah dipaparkan di awal.

Di sini jelas terlihat bahwa dyah Lembu Tal menganut agama Boddha sementara ayahnya, Sri Narasingamurti menganut agama Siwa. Dyah Lembu Tal didharmakan di candi Miren sebagai Boddha sementara Sri Narasingamurti didarmakan di Wengker dengan perwujudan arca Siwa di Kumitir.

Dalam kakawin Decawarnanna pupuh 73/3 dan pupuh 74/1 terkait 27 candi makam raja yang mendapat prasasti pada tahun 1365M, nama Miren tidak disebut, sementara nama Wudi Kuncir atau candi Kumitir disebut. Ini karena candi Miren bukan candi pendarmaan seorang raja.

Pupuh 73/3 dan 74/1: Kwehnikanang sudarmma haji kaprakasita makadi ring kagenengan lwir nikanang manadi tumapel kidal jajaghu wedwawedwan i tudan mwang pikatan bukul jawajawa antang antarasasi kalangbrat i jaga len balitar silahrit i waleri babeg i kukap ri lumbang i pager muktantahpura sagala thawa ri simping mwang sri ranggapura muwang ring buddi kuncir prajnaparamitapuri hanar panembeh mwang tekang ri bhayalango duweg kinaryya.

Terjemahannya: Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan, disebut pertama karena tertua, Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan, Tudan, Pikatan, Bukul, Jawajawa, Antang, Antarasasi/Antarawulan, Kalangbrat, Jaga, lalu Balitar, Sila Ahrit, Waleri, Babeg, Kukap, Lumbang, Pager, makam Antahpura, Sagala, Thawa, Simping, Sri Ranggapura, candi Budi Kuncir, dan bangunan baru Prajnyaparamitapuri di Bayalangu yang baru saja dibangun.

Pararaton menulis: sira mahisa campaka mokta dinarmma ring kumeper pamelesatanira ring wudi kuncir. Artinya mahisa Cempaka wafat didarmakan di Kuameper dengan candi pendarmaannya di Wudi Kuncir. Jadi pendarmaan Sri Narasingamurti Mahisa Campaka yang dalam kakawin Decawarnanna ditulis di Wengker Kumitir, sama dengan candi Wudi Kuncir.

Sekali lagi candi Miren yang merupakan candi Boddha pendarmaan Dyah Lembu Tal tidak tertulis sebagai satu dari 27 candi pendarmaan raja keluarga Girindra. Ini karena Dyah Lembu Tal memang bukan seorang maharaja. Yang jadi maharaja adalah ayahnya, Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka yang dicandikan di Kumitir atau Wudi Kuncir, dan putra sulungnya, Raden Wijaya yang dicandikan di Antapura/keraton dan Simping.

Sampai di sini sudah ketemu jawaban dari pertanyaan: Siapa yang bergelar Sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Dan siapa yang didarmakan sebagai Boddha di candi Miren pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Apakah Dyah Lembu Tal ataukah Sri Narasingamurti.

Bahwa yang didarmakan di candi Miren sebagai Boddha adalah Dyah Lembu Tal. Dengan demikian dyah Lembu Tal adalah tokoh yang menganut agama Boddha.

Bahwa yang sohor atau susrama sebagai sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha adalah tokoh yang didarmakan di candi Miren atau tokoh yang menganut agama Boddha. Tokoh itu adalah Dyah Lembu Tal.


================
SIWI SANG