Jika ada pendapat yang mengatakan Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka menganut agama Boddha, tentulah Prapanca dalam pupuh ini akan menulis tempat pendarmaan dalam perwujudan candi Boddha. Kenyataannya tidak.
Dan berita wafatnya Sri Narasingamurti
Mahisa Cempaka berikut candi pendarmaannya hanya tertulis dalam pupuh 41/4,
tidak termuat dalam pupuh lain. Ini berlaku pula bagi para tokoh seperti
Ranggah Rajasa, Anusapati, Wisnuwardhana, dan nanti berlaku pula terhadap tokoh
seperti Kertanegara dan Dyah Lembu Tal.
Paparan ini sekaligus untuk
menyanggah teori atau penafsiran sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa candi
pendarmaan di Miren yang berciri Boddha merupakan tempat pendarmaan Sri
Narasingamurti. Candi Boddha di Miren sebagaimana nanti termuat dalam kakawin
Decawarnanna pupuh 46/2 bukanlah candi pendarmaan Sang Narasingamurti. Sekali
lagi berita wafatnya dan tempat pendarmaan Sri Narasingamurti hanya termuat
dalam pupuh 41/4.
Bahwa Prapanca sangat kronologis
ketika memberitakan wafatnya para tokoh keluarga Girindra Tumapel. Seorang
tokoh hanya diberitakan tahun wafat dan sekaligus tempat pendarmaannya hanya
dalam satu pupuh atau hanya sekali, tidak pernah diulang penulisannya atau
pemberitaannya dalam pupuh lain.
Keterangan ini nanti untuk
membuktikan atau mengidentifikasi siapa yang didarmakan di candi Miren sebagai
Boddha.
Wafatnya maharaja Tumapel Singasari
terakhir, Sri Kertanegara, dalam kakawin Decawarnanna pupuh 43/5-6
Pupuh 43/5: ring sakabdi jakaryyama
narpati mantuk ring jinaindralaya. Sankai wruhanira ring kriyantara lawan
sarwwopadesadika sang mokteng siwabuddaloka talahan sri natha ling sing sarat
rinke sthananiran dinarmma siwabuddarca halp nottama.
Terjemahannya: Tahun saka
1214/1292M, sang narpati Kertanegara berpulang ke Jinaindralaya. Berkat
pengetahuan beliau tentang upacara dan ajaran agama, beliau mendapat gelar Sang
Mokta ing Siwabuddhaloka atau yang wafat ke alam Siwa-Buddha. Di makam
pendarmaan beliau bertegak arca Siwa-Budha yang sangat megah.
Pupuh 43/6: Lawan ring sagala
pratista jinawimbhatyanta ring sobhita tkwan narddanareswari mwan ika sang sri
bajradewy apupul sang rowang nira wrddi ring bhuwana tunggal ring kriya mwang
brata. Hyang werocana locana lwiriran ekarcca prakaca ing praja.
Terjemahannya: Di sagala ditegakkan
pula arca Jinabudda sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari
bertunggal dengan Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan
kesuburan Negara. Eka arca yang terkenal sepenjuru negeri itu bernama Hyang
Werocana Locana.
Dalam pupuh 43/5, Sri Kertanegara
diberitakan wafat berpulang ke alam Jina dan Indra pada tahun 1292M. Pupuh ini
mengabarkan pula bahwa Kertanegara penganut dua agama yaitu Siwa dan Boddha.
Maka tak heran jika maharaja Singasari terakhir ini dikenal sebagai Sang Mokta
ing Siwabuddhaloka artinya yang wafat di alam siwa dan Buddha. Pendarmaan
Kertanegara juga masih termuat dalam pupuh 43/6, yaitu didharmakan bersatu
dengan sang permaisuri di Sagala dalam perwujudan arca Jinabuddha.
Wafatnya Dyah Lembu Tal dalam
kakawin Decawarnanna dalam pupuh 46/2
Pupuh 46/2: ndan rakwaking
atmwamintiga siran wwang sanak arddapar apan rakwa bhatara wisnu mamisan
parnnahniran tan madoh lawan sri narasinghamurti wka ri dyah lembu tal. susrama
sang wireng laga, sang dinarmma ri miren boddapratistapagoh.
Terjemahannya: Perkawinan beliau
[raden Wijaya] dalam hubungan keluarga termasuk derajat tiga sebab Bhatara
Wisnu merupakan saudara sepupu dengan Sri Narasingamurti yang menurunkan seorang
putra bernama dyah Lembu Tal. [dyah Lembu Tal] sohor sebagai Sang Perwira Yudha
yang didharmakan di Miren dengan perwujudan arca Boddha.
Dalam pupuh 46/2 tokoh yang
didarmakan di Miren sebagai Boddha adalah Dyah Lembu Tal, bukannya Sri
Narasingamurti. Ayah dyah lembu Tal atau Sri Narasingamurti sudah termuat
beritanya dalam pupuh 41/4. Karena Prapanca termasuk penulis yang kronologis,
maka tentu saja tidak mengulang berita wafatnya Sri Narasingamurti dalam pupuh
lain. Jika Sri Narasingamurti didarmakan juga sebagai Boddha, maka berita itu
harus ditempatkan pada pupuh setelah 41/4. Kenyataannya tidak.
Kaliman susrama sang wireng laga
sang dinarmma ri miren boddapratistapagoh pada pupuh 46/2 lebih menunjuk khusus
kepada dyah Lembu Tal. Naskah Decawarnanna berupa kakawin yang sangat terikat
ketat aturan bahasa dan guru laghu. Untuk menafsirkannya tentu saja tidak
sekadar membaca apa yang tertulis atau yang tersurat melainkan juga mampu
menemukan kata kata yang tersirat atau yang tidak ditampilkan akibat kendala
aturan dalam penulisan kakawin.
Jika tokoh yang didarmakan di candi
Miren sebagai Boddha menunjuk pada Sri Narasingamurti, mengapa Prapanca tidak
menuliskannya pada pupuh yang membicarakan wafat dan tempat pendarmaan
Wisnuwardhana dan Sri Narasingamurti pada pupuh 42/4?
Jika tokoh yang didarmakan di candi
Miren menunjuk pada Sri Narasingamurti, maka ini akan bertentangan atau
melenceng dari watak Prapanca yang merupakan wartawan kronologis sebagaimana
telah dipaparkan di awal.
Di sini jelas terlihat bahwa dyah
Lembu Tal menganut agama Boddha sementara ayahnya, Sri Narasingamurti menganut
agama Siwa. Dyah Lembu Tal didharmakan di candi Miren sebagai Boddha sementara
Sri Narasingamurti didarmakan di Wengker dengan perwujudan arca Siwa di
Kumitir.
Dalam kakawin Decawarnanna pupuh
73/3 dan pupuh 74/1 terkait 27 candi makam raja yang mendapat prasasti pada
tahun 1365M, nama Miren tidak disebut, sementara nama Wudi Kuncir atau candi
Kumitir disebut. Ini karena candi Miren bukan candi pendarmaan seorang raja.
Pupuh 73/3 dan 74/1: Kwehnikanang
sudarmma haji kaprakasita makadi ring kagenengan lwir nikanang manadi tumapel
kidal jajaghu wedwawedwan i tudan mwang pikatan bukul jawajawa antang
antarasasi kalangbrat i jaga len balitar silahrit i waleri babeg i kukap ri
lumbang i pager muktantahpura sagala thawa ri simping mwang sri ranggapura
muwang ring buddi kuncir prajnaparamitapuri hanar panembeh mwang tekang ri
bhayalango duweg kinaryya.
Terjemahannya: Jumlah candi makam
raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan, disebut pertama karena tertua,
Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan, Tudan, Pikatan, Bukul, Jawajawa, Antang,
Antarasasi/Antarawulan, Kalangbrat, Jaga, lalu Balitar, Sila Ahrit, Waleri,
Babeg, Kukap, Lumbang, Pager, makam Antahpura, Sagala, Thawa, Simping, Sri
Ranggapura, candi Budi Kuncir, dan bangunan baru Prajnyaparamitapuri di
Bayalangu yang baru saja dibangun.
Pararaton menulis: sira mahisa
campaka mokta dinarmma ring kumeper pamelesatanira ring wudi kuncir. Artinya mahisa
Cempaka wafat didarmakan di Kuameper dengan candi pendarmaannya di Wudi Kuncir.
Jadi pendarmaan Sri Narasingamurti Mahisa Campaka yang dalam kakawin
Decawarnanna ditulis di Wengker Kumitir, sama dengan candi Wudi Kuncir.
Sekali lagi candi Miren yang
merupakan candi Boddha pendarmaan Dyah Lembu Tal tidak tertulis sebagai satu
dari 27 candi pendarmaan raja keluarga Girindra. Ini karena Dyah Lembu Tal
memang bukan seorang maharaja. Yang jadi maharaja adalah ayahnya, Sri Narasingamurti
Mahisa Cempaka yang dicandikan di Kumitir atau Wudi Kuncir, dan putra
sulungnya, Raden Wijaya yang dicandikan di Antapura/keraton dan Simping.
Sampai di sini sudah ketemu jawaban
dari pertanyaan: Siapa yang bergelar Sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha
pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Dan siapa yang didarmakan sebagai Boddha
di candi Miren pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Apakah Dyah Lembu Tal
ataukah Sri Narasingamurti.
Bahwa yang didarmakan di candi Miren
sebagai Boddha adalah Dyah Lembu Tal. Dengan demikian dyah Lembu Tal adalah
tokoh yang menganut agama Boddha.
Bahwa yang sohor atau susrama
sebagai sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha adalah tokoh yang didarmakan
di candi Miren atau tokoh yang menganut agama Boddha. Tokoh itu adalah Dyah
Lembu Tal.
Catatan sebelumnya: Tafsir Sejarah Dyah Lembu Tal Sebagai Ayah Raden Wijaya Pendiri Kerajaan Majapahit [5]
================
SIWI SANG